A.
Biografi Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di
desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia atau
sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai
hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan,
Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Al-Ghozali merupakan anak seorang yang
kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri,
pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi
rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat
senang menuntut ilmu serta berbuat jasa kepada mereka. Ayah Al Ghazali meninggal dunia ketika Al
Ghazali masih usia anak-anak.
Sebelum ditinggalkan oleh ayahnya, Al Ghazali
dan saudaranya pernah dititipkan kepada seorang sufi karena ayahnya merasa
tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai ilmu. Harta warisan dari
ayahnya digunakan sebagai biaya kebutuhan Al Ghazali selama belajar. Akan
tetapi yang menjadi modal utamanya adalah kasih sayang ibunya yang selalu
menjadi pendorong moril bagi mereka untuk belaja terus. Setelah harta
peninggalan ayahnya habis terpakai maka sang sufi tersebut menyarankan Al
Ghazali untuk belajar di sebuah madrasah sebagai murid.[1]
Pada masa kecil Al Ghazali mempelajari fiqih
di negaranya sendiri pada Syekh Ahma bin Muhammad Ar Rasikani kemudian belajar
pada imam Abi Nasar di negara Jurjan. Setalah mempelajari beberapa ilmu
dinegaranya maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al Haromain. Di
sinilah ia mulai kelihatan kepandaiannya dan dapat menguasai beberapa ilmu
pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh
mazhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah maka Imam Al Haromain mengatakan
bahwa Al Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.
Setelah Imam Al Haromain wafat Al Ghazali
pergi ke Al Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan
dinasti Saljuk. Ia dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan.
Menteri Nizal al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H. Atau 1091
M. Sebagai guru besar pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota
Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama empat tahun.
Tahun 488 H. Al Ghazali pergi ke Makkah untuk
menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji,
ia terus pergi ke Syiria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Di sana
ia beribadat di masjd Al Uwami pada suatu sudut sehingga terkenal sampai
sekarang dengan nama Al Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sempat mengarang
sebuah kitab yaitu Ihya Ulumud Din. Al Ghazali tinggal di Damaskus
kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan sangat sederhan,
berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid,
memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan
berkhalwat.
Karena ada desakan dari penguasa waktu itu Al
Ghazali diminta kembali ke Naisabur dang mengajar di perguruan Naizimyah namun
hanya berjalan selama dua tahun dan akhirnya ia kembali ke kampung halamannya
di Thus. Di sana ia mendirikan sekolahan untuk belajar para fuqaha dan para
mutashawwifin (ahli tasawuf). Di kota Thus inilah ia meninggal dunia pada
hari senin tanggal 14 Jumadil akhir 505
H. Atau 1111 M. Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata
yang sama juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris yaitu “
Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang
sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir untuk
umat manusia di masa yang akan datang”.[2]
B.
Pandangan Al Ghazali Tentang Ilmu
Terhadap bidang pengajaran dan pendidikan Al
Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya
tentang kedua bidang ini adalah analisisnya. Manusia, menurut Al Ghazali dapat
memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak
makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena
ilmu dan amalnya.
Ketika membahas ilmu, Al Ghazali lebih tampak
menggambarkan tatanan sosial masyrakat, dalam pengertian bahwa suatu ilmu atau
profesi tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci beliau menggunakan tiga
pendekatan, epistemologis, ontologis dan aksiologis.[3]
a. Secara Epistemologis
Secara epistemologis, ilmu terbagi menjadi dua yakni syar’iyah dan ghairu
syar’iyah. Ilmu syar’iyah ialah ilmu yang diperoleh dari para nabi dan
tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya. Ilmu ini terdiri atas empat
kelompok.
- Ilmu Ushul, meliputi Kitabullah, sunnah Rasul,
ijma’ umat dan peniggalan para sahabat (sejarah awal Islam).
- Ilmu furu’, meliputi Ilmu menyangkut dunia
seperti ilmu fiqh, ilmu menyangkut akhirat seperti ilmu muamalah dan ilmu batin
atau ilmu kebatinan.
- Ilmu muqaddimah, yakni ilmu yang merupakan
alat, seperti bahasa dan tata bahasa yang diperlukan untuk mempelajari isi
kitab Allah dan sunah.
- Ilmu penyempurna (mutammimah), yakni semua
ilmu yang berkenan dengan Al Quran baik qiro’ah maupun tafsirnya.
Ilmu ghairu syar’iyah atau ilmu aqliyah adalah
ilmu yang bersumber dari akal.
b. Secara Ontologis
Berhubungan dengan tugas dan tujuan hidup manusia, Al Ghazali menguraikan
ilmu melalui pendekatan ontologis, membicarakan sifat-sifat dasar dan aneka
ragam ilmu itu sendiri. Secara ontologis ilmu dibagi menjadi dua macam :
- Ilmu fardlu ain, yakni ilmu yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik. Ilmu ini terdiri
atas ilmu tauhid, syari’at dan ilmu sirri.
- Ilmu fardlu kifayah, yakni ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan urusan keduniaan yang perlu diketahui manusia.
c. Secara Aksiologis
Al Ghazali menggunakan pendekatan aksiologis dalam
menilai jenis ilmu. Ilmu itu tercela
bukan karena ilmu itu sendiri tapi lebih berkaitan dengan faktor manusianya.
Ilmu yang telah jelas tercela ialah ilmu sihir, mantra-mantra tenung dan
sejenisnya. Adapun mempelajari ilmu yang tidak termasuk ilmu wajib atau fardhu,
tetapi merupakan keutamaan saja ialah mendalami ilmu hitung, ilmu kedokteran
dan lain sebagainya.
C.
Pemikiran Al Ghazali Tentang Ilmu Pengetahuan
Kemuliaan ilmu
pengetahuan, menuntut ilmu dan mengajar merupakan suatu keastuan yang utuh,
selaras bentuk dan sistemnya, sesuai dan membantu wujud kehidupan secara umum
dan wujud manusia khususnya. Mansia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
alam jagat ini yang harus dikaji, dipahami dan dikenal rahasianya. Cara manusia
mengkaji, memahami dan memikul tanggung jawab alam jagat ini dengan ilmu
(pengetahuan) yaitu yang memungkinkan ia menunaikan risalahNya dalam kehidupan
dan menyebarkan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Hal ini tidak berlaku jika
tidak ada hubungan baik antara manusia dengan alam jagat di mana ia memahami
rahasianya, mengeksploitasikan potesi-potensinya dan menggunakan perbendaharaan
serta hasil-hasil yang disimpan Allah di alam. Islam menjadikan ilmu sebagai
media untuk mengenal Allah, demikian yang diyakini Al Ghazali. Baginya tidaklah
ada jarak yang memisahkan anara agama dan ilmu.[4]
Konsep
pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal
ini disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap
anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang
tua yang mendidiknya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya,
pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat
dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat
dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia
pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari
golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali
bagi siapapun. Dapat dikatakan
pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih),
dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih
tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu
kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir
masih dalam keadaan fitrah (suci).
Beliau juga
mempertegas atas manfaat ilmu pengetahuan dan belajar dari sudut pandang Al
Quran dan As Sunah yang memang mirip dan saling melengkapi satu sama lain. Al
Ghazali berpendapat bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi sehingga kelas
rohani mereka adalah diatas rohani orang-orang beriman biasa. Dengan kata
“ulama”, Ghazali selalu memaksudkan ulama yang benas yang rohaninya tercerahkan
dan intelektualnya tersucikan. [5]
Ilmu
pengetahuan menurut Al Ghazali tidak hanya menjauhkan dari segala keraguan
tetapi juga menghindari dari segala kemungkinan untuk salah dan sesat. Dalam
mencari kebenaran kepada obyek yang dihadapinya perlu sekali penelitian yang
mendalam, maka melalui penelitian ini dapat diperoleh kebenaran kepada obyek
sehingga timbul keyakinan bahwa hasil penelitian ini benar. Jadi tingkat keyakinan
inilah tingkat kebenarannya atau dengan kata lain bahwa pandangan Al Ghazali
mengenai ilmu pengetahuan adalah mengalami proses yang panjang dalam rangka
menacapai ilmu pengetahuan yang hakiki, yaitu meliputi ilmu dria, ilmu akliah
dan ilmu sufiah.[6]
a. Ilmu Dria
Mula-mula Al Ghazali
menyelidiki ilmu dria secara mendalam dan teliti, akan tetapi ilmu yang
secara langsung dan tampak mudah ini kemudian menunjukan kepalsuannya jika
diselidiki dari dekat. Al Ghazali menjelaskan berbagai kelemahan kekuatan panca
indera mata di dalam kitabnya Misykat al Anwar yang meliputi tujuh macam
kelemahan yaitu ; Ia dapat melihat benda-benda lain tetapi tidak dapat melihat
dirinya sendiri, ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang amat jauh ataupun
yang amat dekat atau benda-benda yang berada dibalik selubung. Ia hanya dapat
melihat permukaan sesuatu dan bukan bagian di dalamnya. Ia hanya dapat melihat
sebagian dari yang maujud saja dan bukan keseluruhannya, sesuatu yang terbatas
dan bukan sesuatu yang tak terbatas. Banyak kesalahan yang dilakukannya pada
waktu melihat sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya,
sesuatu yang jauh tampak dekat, sesuatu yang diam tampak bergerak dan sesuatu
yang bergerak tampak diam.
Jelas bahwa Al Ghazali meragukan terhadap hal-hal yang
ditangkap panca indera sehingga ia tidak lagi mempercayai segala ilmu
pengetahuan yang bersumber dari panca indera karena panca indra berdusta.
Karena itu pengetahuan indera itu semuanya tidak dapat diyakini kebenarannya
dan bukanlah ilmu pengetahuan.
b. Ilmu Alkiah
Setelah ia
tidak mempercayai kemampuan panca indera secara penuh dan tidak menerima ilmu
dria sebagai ilmu hakikat maka ia meletakkan kepercayaan pada kemampuan akal.
Ia menjelaskan kelebihan kemampuan akal untuk mengatasi kelemahan pancaindera
dalam hal memperoleh ilmu untuk mencapai hakikat sesuatu. Hubungan antara panca
indera dapat dipandang dari dua sisi, yakni : Pertama, akal harus membebaskan
diri dari pengaruh panca indera, angan-angan atau khayalan yang diakibatkannya.
Kedua, akal juga memerlukan panca indera sebagai alat yang berhubungan dengan
berbagai perkiraan, pikiran, ingatan dan hafalan. Akal inilah yang membawa
berita dari luar, kemudian akal meneliti dan menilai berita-berita itu.[7]
Akal merupakan
sumber ilmu dan hakikat akal adalah kemuliaan. Dengan kemuliaannya, manusia
dapat mengetahui berbagai informasi teoritis. Akal laksana cahaya yang
dipancarkan ke dalam hati sehingga manusia mampu memahami sesuatu. Dengan akal
pula kemampuan setiap makhlau hidup berbeda sesuai dengan perbedaan insting
yang dimilikinya.[8]
c. Ilmu Sufiah
Dengan memantapkan kepercayaan pribadi kepada Allah
sampai menemukan batas-batas akal pikiran manusia. Hal itu merupakan sinyal
bahwa datangnya ilham dari Allah dan hal ini berarti pengetahuan manusia tentang
kebenaran tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang berada di luar akal dan dasar
pertimbangan manusia. Demikianlah yang dimaksud Al Ghazali sebagai ilmu ilham
atau ilmu laduni yang dicapai melalui cara-cara sufiah sehingga disebuat juga
ilmu sufiah.[9]
D.
Pemikiran Al Ghazali Tentang Tujuan Pendidikan
a. Tujuan mempelajari pendidikan semata-mata
untuk ilmu pengetahuan itu saja
Al Ghazali pernah berkata “Apabila engkau mengadakan
penyelidikan atau penalaran terhadap ilmu pengetahuan maka engkau akan melihat kelezatan
padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu
pengetahuan itu sendiri”. Dari perkataan tersebut menunjukkan bahwa penelitian,
penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran
mengandung aspek intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah
kepada mereka yang mencari hakikat ilmu pengetahuan.[10]
Dapat dikatakan bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan
cinta kebenaran yang dikemukakan Al
Ghazali mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama
menganjurkan untuk menggalakkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
secara meluas dan merata.
b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentuk
akhlak
Al Ghazali mengatakan “Tujuan murid dalam mempelajari
segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan
jiwanya”. Dari pernyataan tersebut, Al Ghazali menghendaki keluhuran rohani,
keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat merupakan tujuan
utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek
fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara. [11]
Ilmu yang tidak di sertai amal merupakan kegilaan dan
amal yang tidak pakai ilmu itu akan sia-sia, semata-mata ilmu saja tidak akan
menjauhkan maksiat di dunia ini dan tidak akan membawa kapada ketaatan serta
diakhirat tidak akan memelihara, menghindarkan dari neraka jahana. Antara ilmu
dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan memiliki tujuan yang
sama sehingga terjadi keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan.
Seseorang dalam belajar harus menjadi seorang yang
sanggup menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Semakin lama
waktu belajarnya dan bertambah ilmunya, seorang murid haruslah bertambah dekat
kepada Allah, semakin tekun beribadah, semakin termotivasi untuk
menyebarluaskan ilmunya dan mengamalkannya juga. Sehinnga seorang murid,
menurut Al Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal bagi dirinya sendiri
dengan berakhlakul karimah dan keluarganya dengan menjadi uswatun hasanah.[12]
c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat
Al Ghazali Mengatakan “Dan sungguh mengkau mengetahui
bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta
alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian
itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh
pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghomatan menurut kebiasan”.[13]
Al Ghazali berpendapat bahwa ia tidak memperhatikan
kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata tetapi
beliaumenganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan
salah satunya. Jadi ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat
muslim khususnya, tidaklah sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau
kehidupan akhirat semata-mata akan
tetapi harus mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat.
E.
Kemuliaan Akal Yang Menjadi Sumber Ilmu
Akal adalah
sumber ilmu, kemuliaan akal ini ditegaskan oleh Rasulullah, yang pertama kali
diciptakan Allah adalah akal. Karena akal itu manusia menjadi makhluk yang
mulia di bandingkan dengan makhluk lainnya. Hakikat akal adalah kemuliaan,
dengan kemuliaannya manusia dapat mengetahui berbagai informasi teoritis. Akal
laksana cahaya yang dipancarkan kedalam hati sehingga manusia mampu memahami
sesuatu. Dengan akal pula kemampuan setiap makhluk hidup berbeda sesuai dengan
perbedaan insting yang dimilikinya.[14]
Dalam
pengertiannya akal merupakan pengetahuan yang dapat dikategorikan ke dalam tiga
bagian, pertama, pengetahuan aksiomatris yang dengan sendirinya muncul
dalam diri manusia pada saat ia mencapai usia tertentu. Ilmu ini mencakup
kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemustahilan yang mustahil, seperti bahwa
satu lebih banyak dari dua dan bahwa sebuah benda tidak mungkin berada pada dua
tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Kedua, pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman dan interrelasi dengan lingkungan. Ketiga, Pengetahuan
yang memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan mengendalikan diri dan hawa
nafsunya sehingga tak lagi terjebak dengan kesenang-senangan temporer yang pada
akhirnya berakhir buruk.[15]
Menurut Al
Ghazali tingkatan, akal, kecerdasan dan kebijaksanaan adalah sama. Akal dalam
arti ukuran dan corak kebenaran yang bukan perseorangan dan bersifat umum
merupakan sumber kesejahteraan yang abadi dan kebahagiaan yang kekal, akal
seperti ini baginya adalah pencerahan.[16] Kemuliaan akal adalah dari segi bahwa ia menjadi sumber dan piranti
keluarnya ilmu dan hikmah. Keutamaan akal ini demikian juga ilmu dapat dikenali
dalam tinjauan akal, agama dan panca indera, dan
yang membedakan manusia dengan binatang, dan karena itu ia diciptakaan adalah
kekuatan akal dan dari penemuan
hakikat sesuatu.
F.
Definisi Guru dan Murid
Al Ghazali
tidak pernah menggunakan istilah-istilah guru dan murid dalam arti keahlian
atau akademis yang tegas. Menurut pendapatnya, seseorang dinamai guru apabila
memberitahukan sesuatu kepada siapapun. Dalam beberapa risalah filsafat Al
Ghazali, seseorang yang memberikan hal apapun yang bagus, positif, kreatif atau
bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam tingkat
kehidupan yang manapun, dengan jalan apapun, dengan cara apapun, tanpa
mengharapkan balasan uang kontan setimpal apapun adalah guru atau ulama.
Seorang pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapapun
usianya, dari mana pun, siapapun, dengan biaya apapun untuk meningkatkan
intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti
jalan kebaikan.
Faktor yang
umum antara guru dan murid adalah bahwa ilmu pengetahuan seharusnya diberikan
dan diterima, pada dasarnya bukan untuk keuntungan duniawi tetapi untuk
pengetahuan itu sendiri. Hal ini karena satu-satunya tujuan pendidikan adalah
pencerahan diri dan menyadari Tuhan dengan menempuh hidup menurut
ketentuan-ketentuan Al Quran dan As Sunah.[17]
Arah pendidikan
Al Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni
kebahagiaan dunia dan akhirat, dan itu berlangsung hingga akhir hayat. Berarti
manusia selama hidupnya selalu berkedudukan sebagai murid. Al Ghazali pernah
berkata “ Hak guru atas muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua terhadap
anaknya. Karena orang tua hanya penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan
guru penyebab hidupnya yang kekal...”[18]
Pendidikan yang ditujukan hanya untuk meraih dunia belaka akan menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran. Sebaliknya, jika diniatkan hanya karena Allah, maka
seharusnya para murid saling mengasihi satu sama lain. Sesungguhnya ulama atau
orang-orang yang menghendaki kehidupan akhirat yang lebih baik harus berjalan
menuju Allah dengan menempuh jalan yang ditetapkanNya. Adapun dunia beserta
perhitungan waktunya hanyalah tempat persinggahan.[19]
Seorang guru merupakan Orang Tua bagi murid-muridnya. Seorang guru harus memiliki kasih sayang
kepada semua murid-muridnya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya
sendiri, Sifat kasih sayang seorang inilah pada akhirnya yang akan melahirkan
keakraban, percaya diri dan ketentraman belajar. Suasana yang kondusif inilah yang mempermudah proses transformasi
dan transfer ilmu pengetahuan, Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini
bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”.
Hadits tersebut menuntut seorang guru agar tidak hanya sekedar menyampaikan
materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada
anaknya. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya
besok hidup, maka guru pun harus memikirkan masa depan murid-muridnya.
Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang
mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Seorang guru sering tidak bisa
tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh para murid-muridnya, apalagi
sebagai orang tua.
Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu
menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela. Murid harus membersihkan dirinya seoptimal
mungkin, penyucian jiwa merupakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Belajar
bermakna ibadah yang berorientasi mendekatkan diri kepada Allah. Belajar tidak
ubahnya shalat yang menuntut kesucian lahir batin, sebagaimana tidak syah
shalat yang menjadi tugas anggota dhahir kecuali dengan mensucikan anggota
dhahir dari segala hadats dan najis, maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian
bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya
ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat.[20]
G.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan jalan utama
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Secara sepintas bila melihat tujuan
pendidikan diatas, terkesan bahwa pendidikan yang diharapkan Al-Ghozali hanya
bersifat ukhrowi. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam, pendidikan menurutnya
tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia merupakan manifestasi
menuju ke masa depan.
Sistem pendidikan Al Ghazali merupakan sistem
pendidikan yang sedang dicita-citakan bagi perbaikan sistem yang lebih baik.
Pandangannya terhadap ilmu menunjukkan bukti pemaduan secara integral dari
pembagian dua sistem pendidikan sekarang, sistem Islam dan sekuler.
Filsafat dan sistem pendidikan dari Al Ghazali
bertujuan menghasilkan orang-orang beriman sejati yang ikhlas dengan kemampuan
intelektual yang tangguh dan kegagahan moral, berdedikasi untuk faktor
pengajaran dan ilmu pengetahuan, terbiasa dengan perenungan yang mendalam dan
menjadi ahli dalam pemikiran moral.
Manusia, menurut Al Ghazali dapat memperoleh
derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di
permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan
amalnya. al-Ghazali menganut asas
kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu,
juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya
wajib, tidak terkecuali bagi siapapun.
Daftar Pustaka
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali
Tentang Pendidikan,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta
: Sahara, 2007.
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Klasik :
gagasan pendidikan Al Ghazali, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999.
Mustofa,
Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al
Ghazali, Bandung : Pustaka Setia, 2005.
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al
Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Semoga
bermanfaat setiap ilmu yang kita peroleh...AMIN YA ALLAH.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan,(Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 19980 hlm. 41-49.