Kamis, 27 Maret 2014

Abu Hamid Al-Ghazālī (الغزالي)




A.    Biografi Al Ghazali
 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Al-Ghozali merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang menuntut ilmu serta berbuat jasa kepada mereka. Ayah Al Ghazali meninggal dunia ketika Al Ghazali masih usia anak-anak.
Sebelum ditinggalkan oleh ayahnya, Al Ghazali dan saudaranya pernah dititipkan kepada seorang sufi karena ayahnya merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai ilmu. Harta warisan dari ayahnya digunakan sebagai biaya kebutuhan Al Ghazali selama belajar. Akan tetapi yang menjadi modal utamanya adalah kasih sayang ibunya yang selalu menjadi pendorong moril bagi mereka untuk belaja terus. Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai maka sang sufi tersebut menyarankan Al Ghazali untuk belajar di sebuah madrasah sebagai murid.[1]



Pada masa kecil Al Ghazali mempelajari fiqih di negaranya sendiri pada Syekh Ahma bin Muhammad Ar Rasikani kemudian belajar pada imam Abi Nasar di negara Jurjan. Setalah mempelajari beberapa ilmu dinegaranya maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan kepandaiannya dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh mazhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah maka Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.
Setelah Imam Al Haromain wafat Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan. Menteri Nizal al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H. Atau 1091 M. Sebagai guru besar pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama empat tahun.
Tahun 488 H. Al Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syiria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Di sana ia beribadat di masjd Al Uwami pada suatu sudut sehingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yaitu Ihya Ulumud Din. Al Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan sangat sederhan, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan berkhalwat.
Karena ada desakan dari penguasa waktu itu Al Ghazali diminta kembali ke Naisabur dang mengajar di perguruan Naizimyah namun hanya berjalan selama dua tahun dan akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Thus. Di sana ia mendirikan sekolahan untuk belajar para fuqaha dan para mutashawwifin (ahli tasawuf). Di kota Thus inilah ia meninggal dunia pada hari  senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H. Atau 1111 M. Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata yang sama juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris yaitu “ Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir untuk umat manusia di masa yang akan datang”.[2]

 


B.     Pandangan Al Ghazali Tentang Ilmu
Terhadap bidang pengajaran dan pendidikan Al Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya tentang kedua bidang ini adalah analisisnya. Manusia, menurut Al Ghazali dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.



Ketika membahas ilmu, Al Ghazali lebih tampak menggambarkan tatanan sosial masyrakat, dalam pengertian bahwa suatu ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci beliau menggunakan tiga pendekatan, epistemologis, ontologis dan aksiologis.[3]
a.       Secara Epistemologis
Secara epistemologis, ilmu terbagi menjadi dua yakni syar’iyah dan ghairu syar’iyah. Ilmu syar’iyah ialah ilmu yang diperoleh dari para nabi dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya. Ilmu ini terdiri atas empat kelompok.
-       Ilmu Ushul, meliputi Kitabullah, sunnah Rasul, ijma’ umat dan peniggalan para sahabat (sejarah awal Islam).
-       Ilmu furu’, meliputi Ilmu menyangkut dunia seperti ilmu fiqh, ilmu menyangkut akhirat seperti ilmu muamalah dan ilmu batin atau ilmu kebatinan.
-       Ilmu muqaddimah, yakni ilmu yang merupakan alat, seperti bahasa dan tata bahasa yang diperlukan untuk mempelajari isi kitab Allah dan sunah.
-       Ilmu penyempurna (mutammimah), yakni semua ilmu yang berkenan dengan Al Quran baik qiro’ah maupun tafsirnya.
Ilmu ghairu syar’iyah atau ilmu aqliyah adalah ilmu yang bersumber dari akal.
b.      Secara Ontologis
Berhubungan dengan tugas dan tujuan hidup manusia, Al Ghazali menguraikan ilmu melalui pendekatan ontologis, membicarakan sifat-sifat dasar dan aneka ragam ilmu itu sendiri. Secara ontologis ilmu dibagi menjadi dua macam :
-       Ilmu fardlu ain, yakni ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik. Ilmu ini terdiri atas ilmu tauhid, syari’at dan ilmu sirri.
-       Ilmu fardlu kifayah, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan yang perlu diketahui manusia.
c.       Secara Aksiologis
Al Ghazali menggunakan pendekatan aksiologis dalam menilai jenis ilmu.  Ilmu itu tercela bukan karena ilmu itu sendiri tapi lebih berkaitan dengan faktor manusianya. Ilmu yang telah jelas tercela ialah ilmu sihir, mantra-mantra tenung dan sejenisnya. Adapun mempelajari ilmu yang tidak termasuk ilmu wajib atau fardhu, tetapi merupakan keutamaan saja ialah mendalami ilmu hitung, ilmu kedokteran dan lain sebagainya.

C.    Pemikiran Al Ghazali Tentang Ilmu Pengetahuan
Kemuliaan ilmu pengetahuan, menuntut ilmu dan mengajar merupakan suatu keastuan yang utuh, selaras bentuk dan sistemnya, sesuai dan membantu wujud kehidupan secara umum dan wujud manusia khususnya. Mansia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam jagat ini yang harus dikaji, dipahami dan dikenal rahasianya. Cara manusia mengkaji, memahami dan memikul tanggung jawab alam jagat ini dengan ilmu (pengetahuan) yaitu yang memungkinkan ia menunaikan risalahNya dalam kehidupan dan menyebarkan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Hal ini tidak berlaku jika tidak ada hubungan baik antara manusia dengan alam jagat di mana ia memahami rahasianya, mengeksploitasikan potesi-potensinya dan menggunakan perbendaharaan serta hasil-hasil yang disimpan Allah di alam. Islam menjadikan ilmu sebagai media untuk mengenal Allah, demikian yang diyakini Al Ghazali. Baginya tidaklah ada jarak yang memisahkan anara agama dan ilmu.[4]



Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).
Beliau juga mempertegas atas manfaat ilmu pengetahuan dan belajar dari sudut pandang Al Quran dan As Sunah yang memang mirip dan saling melengkapi satu sama lain. Al Ghazali berpendapat bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi sehingga kelas rohani mereka adalah diatas rohani orang-orang beriman biasa. Dengan kata “ulama”, Ghazali selalu memaksudkan ulama yang benas yang rohaninya tercerahkan dan intelektualnya tersucikan. [5]
Ilmu pengetahuan menurut Al Ghazali tidak hanya menjauhkan dari segala keraguan tetapi juga menghindari dari segala kemungkinan untuk salah dan sesat. Dalam mencari kebenaran kepada obyek yang dihadapinya perlu sekali penelitian yang mendalam, maka melalui penelitian ini dapat diperoleh kebenaran kepada obyek sehingga timbul keyakinan bahwa hasil penelitian ini benar. Jadi tingkat keyakinan inilah tingkat kebenarannya atau dengan kata lain bahwa pandangan Al Ghazali mengenai ilmu pengetahuan adalah mengalami proses yang panjang dalam rangka menacapai ilmu pengetahuan yang hakiki, yaitu meliputi ilmu dria, ilmu akliah dan ilmu sufiah.[6]
a.       Ilmu Dria
Mula-mula Al Ghazali  menyelidiki ilmu dria secara mendalam dan teliti, akan tetapi ilmu yang secara langsung dan tampak mudah ini kemudian menunjukan kepalsuannya jika diselidiki dari dekat. Al Ghazali menjelaskan berbagai kelemahan kekuatan panca indera mata di dalam kitabnya Misykat al Anwar yang meliputi tujuh macam kelemahan yaitu ; Ia dapat melihat benda-benda lain tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri, ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang amat jauh ataupun yang amat dekat atau benda-benda yang berada dibalik selubung. Ia hanya dapat melihat permukaan sesuatu dan bukan bagian di dalamnya. Ia hanya dapat melihat sebagian dari yang maujud saja dan bukan keseluruhannya, sesuatu yang terbatas dan bukan sesuatu yang tak terbatas. Banyak kesalahan yang dilakukannya pada waktu melihat sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, sesuatu yang jauh tampak dekat, sesuatu yang diam tampak bergerak dan sesuatu yang bergerak tampak diam.
Jelas bahwa Al Ghazali meragukan terhadap hal-hal yang ditangkap panca indera sehingga ia tidak lagi mempercayai segala ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera karena panca indra berdusta. Karena itu pengetahuan indera itu semuanya tidak dapat diyakini kebenarannya dan bukanlah ilmu pengetahuan.
b.      Ilmu Alkiah
Setelah ia tidak mempercayai kemampuan panca indera secara penuh dan tidak menerima ilmu dria sebagai ilmu hakikat maka ia meletakkan kepercayaan pada kemampuan akal. Ia menjelaskan kelebihan kemampuan akal untuk mengatasi kelemahan pancaindera dalam hal memperoleh ilmu untuk mencapai hakikat sesuatu. Hubungan antara panca indera dapat dipandang dari dua sisi, yakni : Pertama, akal harus membebaskan diri dari pengaruh panca indera, angan-angan atau khayalan yang diakibatkannya. Kedua, akal juga memerlukan panca indera sebagai alat yang berhubungan dengan berbagai perkiraan, pikiran, ingatan dan hafalan. Akal inilah yang membawa berita dari luar, kemudian akal meneliti dan menilai berita-berita itu.[7]
Akal merupakan sumber ilmu dan hakikat akal adalah kemuliaan. Dengan kemuliaannya, manusia dapat mengetahui berbagai informasi teoritis. Akal laksana cahaya yang dipancarkan ke dalam hati sehingga manusia mampu memahami sesuatu. Dengan akal pula kemampuan setiap makhlau hidup berbeda sesuai dengan perbedaan insting yang dimilikinya.[8]
c.       Ilmu Sufiah
Dengan memantapkan kepercayaan pribadi kepada Allah sampai menemukan batas-batas akal pikiran manusia. Hal itu merupakan sinyal bahwa datangnya ilham dari Allah dan hal ini berarti pengetahuan manusia tentang kebenaran tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang berada di luar akal dan dasar pertimbangan manusia. Demikianlah yang dimaksud Al Ghazali sebagai ilmu ilham atau ilmu laduni yang dicapai melalui cara-cara sufiah sehingga disebuat juga ilmu sufiah.[9]

D.    Pemikiran Al Ghazali Tentang Tujuan Pendidikan
a.       Tujuan mempelajari pendidikan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja
Al Ghazali pernah berkata “Apabila engkau mengadakan penyelidikan atau penalaran terhadap ilmu pengetahuan maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri”. Dari perkataan tersebut menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran mengandung aspek intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah kepada mereka yang mencari hakikat ilmu pengetahuan.[10]
Dapat dikatakan bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan  Al Ghazali mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama menganjurkan untuk menggalakkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan merata.
b.      Tujuan utama pendidikan adalah pembentuk akhlak
Al Ghazali mengatakan “Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”. Dari pernyataan tersebut, Al Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara. [11]
Ilmu yang tidak di sertai amal merupakan kegilaan dan amal yang tidak pakai ilmu itu akan sia-sia, semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini dan tidak akan membawa kapada ketaatan serta diakhirat tidak akan memelihara, menghindarkan dari neraka jahana. Antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan memiliki tujuan yang sama sehingga terjadi keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan.
Seseorang dalam belajar harus menjadi seorang yang sanggup menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Semakin lama waktu belajarnya dan bertambah ilmunya, seorang murid haruslah bertambah dekat kepada Allah, semakin tekun beribadah, semakin termotivasi untuk menyebarluaskan ilmunya dan mengamalkannya juga. Sehinnga seorang murid, menurut Al Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal bagi dirinya sendiri dengan berakhlakul karimah dan keluarganya dengan menjadi uswatun hasanah.[12]
c.       Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Al Ghazali Mengatakan “Dan sungguh mengkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghomatan menurut kebiasan”.[13]
Al Ghazali berpendapat bahwa ia tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata tetapi beliaumenganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya, tidaklah sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat semata-mata  akan tetapi harus mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat.



E.     Kemuliaan Akal Yang Menjadi Sumber Ilmu
Akal adalah sumber ilmu, kemuliaan akal ini ditegaskan oleh Rasulullah, yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal. Karena akal itu manusia menjadi makhluk yang mulia di bandingkan dengan makhluk lainnya. Hakikat akal adalah kemuliaan, dengan kemuliaannya manusia dapat mengetahui berbagai informasi teoritis. Akal laksana cahaya yang dipancarkan kedalam hati sehingga manusia mampu memahami sesuatu. Dengan akal pula kemampuan setiap makhluk hidup berbeda sesuai dengan perbedaan insting yang dimilikinya.[14]
Dalam pengertiannya akal merupakan pengetahuan yang dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, pertama, pengetahuan aksiomatris yang dengan sendirinya muncul dalam diri manusia pada saat ia mencapai usia tertentu. Ilmu ini mencakup kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemustahilan yang mustahil, seperti bahwa satu lebih banyak dari dua dan bahwa sebuah benda tidak mungkin berada pada dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Kedua, pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan interrelasi dengan lingkungan. Ketiga, Pengetahuan yang memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan mengendalikan diri dan hawa nafsunya sehingga tak lagi terjebak dengan kesenang-senangan temporer yang pada akhirnya berakhir buruk.[15]
Menurut Al Ghazali tingkatan, akal, kecerdasan dan kebijaksanaan adalah sama. Akal dalam arti ukuran dan corak kebenaran yang bukan perseorangan dan bersifat umum merupakan sumber kesejahteraan yang abadi dan kebahagiaan yang kekal, akal seperti ini baginya adalah pencerahan.[16] Kemuliaan akal adalah dari segi bahwa ia menjadi sumber dan piranti keluarnya ilmu dan hikmah. Keutamaan akal ini demikian juga ilmu dapat dikenali dalam tinjauan akal, agama dan panca indera, dan yang membedakan manusia dengan binatang, dan karena itu ia diciptakaan adalah kekuatan akal dan dari penemuan hakikat sesuatu.

F.     Definisi Guru dan Murid
Al Ghazali tidak pernah menggunakan istilah-istilah guru dan murid dalam arti keahlian atau akademis yang tegas. Menurut pendapatnya, seseorang dinamai guru apabila memberitahukan sesuatu kepada siapapun. Dalam beberapa risalah filsafat Al Ghazali, seseorang yang memberikan hal apapun yang bagus, positif, kreatif atau bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam tingkat kehidupan yang manapun, dengan jalan apapun, dengan cara apapun, tanpa mengharapkan balasan uang kontan setimpal apapun adalah guru atau ulama. Seorang pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapapun usianya, dari mana pun, siapapun, dengan biaya apapun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan.
Faktor yang umum antara guru dan murid adalah bahwa ilmu pengetahuan seharusnya diberikan dan diterima, pada dasarnya bukan untuk keuntungan duniawi tetapi untuk pengetahuan itu sendiri. Hal ini karena satu-satunya tujuan pendidikan adalah pencerahan diri dan menyadari Tuhan dengan menempuh hidup menurut ketentuan-ketentuan Al Quran dan As Sunah.[17]
Arah pendidikan Al Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat, dan itu berlangsung hingga akhir hayat. Berarti manusia selama hidupnya selalu berkedudukan sebagai murid. Al Ghazali pernah berkata “ Hak guru atas muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Karena orang tua hanya penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru penyebab hidupnya yang kekal...”[18] Pendidikan yang ditujukan hanya untuk meraih dunia belaka akan menyebabkan kebinasaan dan kehancuran. Sebaliknya, jika diniatkan hanya karena Allah, maka seharusnya para murid saling mengasihi satu sama lain. Sesungguhnya ulama atau orang-orang yang menghendaki kehidupan akhirat yang lebih baik harus berjalan menuju Allah dengan menempuh jalan yang ditetapkanNya. Adapun dunia beserta perhitungan waktunya hanyalah tempat persinggahan.[19]
Seorang guru merupakan Orang Tua bagi murid-muridnya. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada semua murid-muridnya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, Sifat kasih sayang seorang inilah pada akhirnya yang akan melahirkan keakraban, percaya diri dan ketentraman belajar. Suasana yang kondusif inilah yang mempermudah proses transformasi dan transfer ilmu pengetahuan, Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”. Hadits tersebut menuntut seorang guru agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anaknya. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka guru pun harus memikirkan masa depan murid-muridnya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Seorang guru sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh para murid-muridnya, apalagi sebagai orang tua.
Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela. Murid harus membersihkan dirinya seoptimal mungkin, penyucian jiwa merupakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Belajar bermakna ibadah yang berorientasi mendekatkan diri kepada Allah. Belajar tidak ubahnya shalat yang menuntut kesucian lahir batin, sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir kecuali dengan mensucikan anggota dhahir dari segala hadats dan najis, maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat.[20]

G.    Kesimpulan
Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Secara sepintas bila melihat tujuan pendidikan diatas, terkesan bahwa pendidikan yang diharapkan Al-Ghozali hanya bersifat ukhrowi. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam, pendidikan menurutnya tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia merupakan manifestasi menuju ke masa depan.
Sistem pendidikan Al Ghazali merupakan sistem pendidikan yang sedang dicita-citakan bagi perbaikan sistem yang lebih baik. Pandangannya terhadap ilmu menunjukkan bukti pemaduan secara integral dari pembagian dua sistem pendidikan sekarang, sistem Islam dan sekuler.
Filsafat dan sistem pendidikan dari Al Ghazali bertujuan menghasilkan orang-orang beriman sejati yang ikhlas dengan kemampuan intelektual yang tangguh dan kegagahan moral, berdedikasi untuk faktor pengajaran dan ilmu pengetahuan, terbiasa dengan perenungan yang mendalam dan menjadi ahli dalam pemikiran moral.
Manusia, menurut Al Ghazali dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya. al-Ghazali  menganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun.






Daftar Pustaka

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.
Al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta : Sahara, 2007.
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Klasik : gagasan pendidikan Al Ghazali, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999.
Mustofa,  Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al Ghazali, Bandung : Pustaka Setia, 2005.
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.

Semoga bermanfaat setiap ilmu yang kita peroleh...AMIN YA ALLAH.






[1] Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al Ghazali, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1991) hlm. 8.
[2] Mustofa,  Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm. 215-216.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 19980 hlm. 41-49.
[4] Zainuddin, Seluk Beluk ...hlm. 23.
[5] Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al Ghazali, (Bandung : Pustaka Setia, 2005) hlm. 46.
[6] Zainuddin, Seluk Beluk...hlm. 30
[7] Ibid.,hlm. 31.
[8] Al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta : Sahara, 2007) hlm. 56.
[9] Zainuddin, Seluk Beluk ...hlm. 32.
[10] Ibid.,hlm. 43.
[11]Ibid., hlm. 44.
[12] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali ...hlm.88.
[13] Zainuddin, Seluk Beluk ...hlm. 46.
[14] Al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin...hlm. 56.
[15] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Klasik ...hlm 42.
[16] Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan...hlm 91.
[17] Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan ...hlm. 62.
[18] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali...hlm. 62.
[19] Al Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin...hlm.52.
[20] Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan ...hlm.62.